• About
  • Contact
  • Sitemap
  • Privacy Policy

Trip to Pulau Buru (Namlea)

 on Selasa, 01 Januari 2013  


Ambon - 12 Nopember 2012 lalu, Pak Sahetapy menugaskan Saya melakukan kegiatan Monitoring dan Evaluasi (Monev) Bantuan Buku Perpustakaan ke berbagai Desa/Kelurahan di Kabupaten Buru (Namlea). Surat Tugas dan SPPD nya Saya terima langsung dari Ibu Valentine (Sekretaris Kantor) dua hari sebelum keberangkatan. Sebelumnya Ibu Sekretaris berpesan kepada Saya dengan logat ambon nya, "Pak karena belum pernah ke daerah sana, nanti berangkatnya jang sampai terlambat karena jadwal keberangkatan kapal terkadang seng menentu", iya baiklah jawab Saya.

Mendapat tugas ini saya merasa senang sekali apalagi ditugaskan ke daerah-daerah dan tempat yang belum pernah Saya kunjungi. Disamping melaksanakan pekerjaan (tugas) hobi pun dapat terealisasikan. Tugas ini dilaksanakan hanya satu orang per kabupaten dan pada gilirannya saya mendapatkan kesempatan ke Kabupaten Buru (Namlea). Pertanyaan pun muncul di benak saya, "Apakah perjalanan dinas ini harus dilaksanakan sendirian?" permasalahnnya adalah saya harus meninggalkan istri sendirian di rumah dinas selama beberapa hari kedepan. Hmm... rasanya saya tidak tega kalau harus meninggalkannya apalagi baru beberapa hari saja sampai di Kota Ambon dan juga kurang mengenal lingkungan kota Ambon, akhirnya saya pun putuskan untuk ikut saja dengan biaya pribadi.
Sumber photo : http://stat.ks.kidsklik.com/

Pulau Buru memang baru bagi saya, oleh karenanya sebelum berangkat saya usahakan mencari tahu mengenai profil dari Kabupaten Buru yang ada di pulau buru itu sendiri termasuk lokasi beberapa Desa yang harus didatangi nanti untuk dijadikan sampel dari sekitar 10 Kecamatan yang ada disana. Konon ceritanya menurut salah seorang pegawai di tempat saya bekerja bahwa Pulau Buru merupakan pulau sejarah dimana dahulu di sana, ribuan orang dibuang dan disiksa, karena dituduh sebagai antek partai komunis yang paling dimusuhi oleh rezim pemerintah saat itu (Orde Baru). Pulau Buru juga terkenal dengan keindahan pantainya dan Minyak Kayu Putih dimana Pulau Buru merupakan daerah Penghasil Minyak Kayu Putih terbesar di Indonesia, dan selain itu di Pulau Buru saat ini terkenal dengan tempat tambang emas, Kabupaten Buru (Namlea) itu kini telah menjadi salah satu kabupaten di Pulau Buru Propinsi Maluku. 

Siang hari itu tanggal 12 Nopember 2012, saya pergi menuju pelabuhan Galala Kota Ambon untuk memesan tiket Kapal Fery tujuan Ambon - Namlea. Sesampainya di pelabuhan, saya mendapatkan keterangan dari salah seorang petugas penjualan tiket bahwa tiket dapat dipesan langsung nanti malam ketika Kapal terjadwalkan untuk berangkat. Waduh!! "Bisa Repot nih" gumam Saya sembari berbalik untuk kembali pulang.

Menjelang malam hari, telepon bergetar rupanya panggilan masuk dari nama salah seorang pegawai di kantor yaitu Pak Guntur. Suara terdengar dari telepon "Pak kita baku dapa di Pelabuhan e... jam 20.00 WIT, barang beta jua dapa tugas ke Namlea untuk Bimbingan Teknis!!" rupanya ada teman juga yang ditugaskan ke Pulau Buru untuk kegiatan lain di sana. 

Kemudian malam harinya selesai sembahyang saya pun bergegas berangkat menuju pelabuhan, waktu itu menunjukan pukul 20.15 WIT. Transportasi yang digunakan dari rumah dinas ke pelabuhan sengaja menggunakan transportasi ojek karena dinilai lebih cepat sehingga dapat lebih efisien. Ketika baru tiba di Pelabuhan saya pun melihat pemandangan yang cukup mencengangkan dimana Antrian penumpang yang sangat panjang dan padat sekali seperti mau masuk ke tempat wisata. Setelah membayar ongkos ojek saya pun bergegas langsung ikut antrian dan berdesak-desakan bersama teman-teman yang sudah lebih dahulu tiba di pelabuhan bersama penumpang lainnya. Dari antrian tersebut saya melihat banyak rombongan turis lokal yang antusias dan bersemangat menuju ke Pulau Buru, kebanyakan dari pulau Jawa bahkan dari Jawa Barat pun ada dengan bahasanya yang merasa saya tidak asing lagi diantaranya saja dari dari Tasikmalaya. Turis-turis ini datang dengan peralatan lengkap sepertinya mereka adalah para penambang emas yang akan menuju tempat penambangan emas di Pulau Buru. Kendatipun antrian di jaga oleh aparat keamanan tetap saja ada beberapa orang yang berusaha menerobos untuk mendahului antrian dan pada akhirnya teriakan dan pukulan pun melayang dari aparat itu. Hmm... pemandangan yang lumrah di Indonesia.

Setelah 3 jam mengantri dengan bermandikan keringat akhirnya saya pun mendapatkan tiket kapal kelas ekonomi dengan tarif Rp. 62.500,- per orang. Saya kurang beruntung deh tidak mendapatkan tiket kelas bisnis karena sudah habis :-) Tepat pulul 00.20 WIT alarm kapal berbunyi 3 kali sebagai tanda kapal akan mulai berlayar. Di dalam kapal itu saya bersama istri dan juga teman-teman berusaha untuk mencari tempat duduk untuk beberapa saat istirahat dan merebahkan badan, namun yang mengherankannya lagi ketika saya mencari tempat duduk itu sudah penuh baik di dek 1 dan 2, semuanya sudah ditempati para penumpang dan bahkan sebagian penumpang lainnya duduk dan tidur di lantai dek kapal dengan menyewa tikar dari para penjaja tikar.

Tampak sekali berantakan manusia bergelimpangan dan kondisinya tidak teratur. Sungguh kontras sekali apabila dibandingkan dengan sarana transportasi yang ada di pulau jawa misalnya saja transportasi laut rute Merak - Bakauheuni, kapal fery disana jumlahnya banyak disamping itu juga kondisinya layak untuk digunakan lengkap dengan perlengkapan keselamatannya. Saya pun akhirnya berusaha untuk menempati lantai di pojok dekat tangga turun ke dek 1. Sembari berusaha menyesuaikan dengan keadaan, saya dan teman-teman sedikit berbincang mengenai rencana kegiatan esok hari. Tidak lama kemudian pemeriksaan tiket pun menghampiri dan memeriksa tiket masing-masing penumpang.

Perjalanan menggunakan kapal laut buat saya sangat membosankan dan memabukan apalagi jarak tempuh perjalanan sekarang ini kurang lebih 8 jam dari Ambon - Pulau Buru (Namlea), namun tidak ada pilihan lain selain transportasi laut. Sebenarnya, saya berencana naik kapal cepat, bukan kapal Fery. Tapi sayang, kapal ekspres yang berdaya tempuh empat jam Ambon-Buru dan hanya beroperasi sekali sehari tersebut, tidak dapat kami kejar. Lama kelamaan kelip-kelip lampu dari daratan sudah tidak terlihat lagi hanya gulita disekeliling kapal, suasana dikapal pun cukup sepi hanya sesekali suara para penjual minuman dan makanan yang menawarkan dagangannya kepada para penumpang. Getaran mesin kapal cukup keras seakan dipacu cepat oleh nakhodanya, tiba-tiba saya dikagetkan oleh suara panggilan dari seorang Oma (panggilan kepada ibu yang sudah lanujut usia) "Mas kegiatan apa di Buru??" akhirnya obrolan pun terjadi. Dari obrolan ini, akhirnya saya menjadi tahu bahwa oma itu adalah seorang bidan senior dipelosok daerah pulau buru. Pada awalnya, Oma  sekedar basa-basi menanyakan tujuan perjalanan saya dan teman-teman yang sampai akhirnya obrolan menjadi menarik ketika Oma menceritakan perjalannan hidupnya serta pekerjaannya yang melelahkan, dimana dia seorang diri harus menangani pasien-pasien Partus yang lokasinya cukup jauh. Disamping itu Oma juga harus bolak balik dari Namlea ke Ambon hampir tiap tiga minggu sekali untuk mendapatkan obat-obatan yang dibutuhkan. Obrolan pun berakhiri ketika mata mulai mengantuk dan udara di dalam kapal sudah mulai mendinginkan kulit, maklumlah jendela-jendela kapal yang terbuka langsung menghadap lautan lepas tanpa penutup.

Di pagi hari sekali ketika sang surya mau terbit, saya bersama istri naik ke anjungan kapal untuk mendokumentasikan peristiwa pergantian malam menjadi siang (Sunrise). Suasana di anjungan kapal cukup ramai dan banyak sekali orang yang beristirahat di anjungan kapal sembari menikmati bertaburnya bintang-bintang dilangit. Cuaca di pagi itu cukup baik dimana langit cerah dengan ombak yang tenang, namun udara dingin di anjungan masih cukup kencang dan membuat rasa tidak sabar untuk menanti munculnya sang penghangat dari sarangnya. Beberapa saat kemudian langit dari ujung laut sebelah timur mulai memerah dan saya pun berusaha mengabadikannya dengan memotret moment itu. Sungguh luar biasa pendangaan saat itu ketika berada ditengah lautan lepas sambil menyaksikan pergantian malam.
Sunrise di Selat Manimpa

Tepat pukul 08.00 WIT sayup-sayup terlihat daratan, rupanya posisi kapal sudah mendekati teluk pulau buru dan 15 menit kemudiaan akhirnya kapal pun bersandar di Pelabuhan. Para buruh angkut sibuk menawarkan jasanya, dan saya pun bersama teman bergegas turun dengan barang-barang perlengkapan yang lumayan banyak. Deburan ombak pantai yang meriak seperti air tawar yang ada di kolam mulai terasa saat turun dari kapal berjalan menuju dermaga.
Suasana di Anjungan Kapal
Suasana di Anjungan Kapal

Sampai di parkiran pelabuhan, saya dan teman-teman dikerubuti sopir taksi yang menawarkan jasanya untuk mengantar ke tempat tujuan. Uniknya taksi-taksi di sana bukan taksi seperti halnya di bandara, taksi ini berplat nomor hitam alias bukan angkutan umum dan tipe kendaraannya pun bermacam-macam ada tipe mini bus, sedan, dll. Taksi di pelabuhan terkenal tarifnya lebih mahal dari harga normal taksi. Berhubung teman saya sudah melakukan percakapan melalui telepon dengan seseorang yang berada di Namlea untuk menjemput ke pelabuhan, maka saya dan teman-teman pun menolak tawaran para sopir taksi. Setelah teman saya menelpon Pak Anes (nama panggilan) orang yang akan menjemput ke pelabuhan, beberapa saat kemudian akhirnya Pak Anes tiba dengan mobil mini bus nya yang berwarna biru.

Dalam perjalanan menuju kecamatan Namlea pusat kota di Kabupaten Buru saya sempatkan berkenalan dengan Pak Anes, rupa-rupanya Pak Anes ini adalah seorang Kepala Kantor BPS Statistik di Kabupaten Buru - Namlea. Dalam hati saya merasa malu ketika tahu ternyata yang menjemput ini seorang pejabat, tetapi Alhamdulillah beliau ini orangnya baik sekali dan menyenangkan bahkan sesekali Pak Anes bercanda memancing tawa saya dan teman-teman. 15 menit kemudian akhirnya sampailah di depan kantornya Pak Anes tetapi perjalanan pun masih berlanjut menuju Rumah yang bersebelahan dengan kantor itu. Tepat di rumah dinasnya pak Anes ini, Saya bersama istri dan teman-teman beristirahat sejenak dan mempersiapkan diri untuk menuju lokasi kegiatan masing-masing. 

Sementara sedang bersiap-siap datanglah 2 orang berseragam dinas dengan sebuah mobil mini bus berwarna hitam, rupanya mereka pegawai dari Kantor Perpustakaan dan Arsip kabupaten Buru yang di utus pimpinannya untuk mengantar ke kantor perpustakaan dan arsip setempat. Tepat jam 09.00 WIT saya sampai di Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Kabupaten Buru dan langsung menemui Drs. Mansur Mamulaty (kepala kantor) untuk menjelaskan maksud dan tujuan kedatangan ke sana. Setelah mendapatkan arahan dari kepala kantor akhirnya Saya pun berpisah dengan teman-teman, karena kegiatannya berbeda. Sebelum pergi ke lokasi kegiatan, saya pun sempatkan membantu teman-teman untuk mempersiapkan kegiatan Bimtek. Saya dan Istri ditemani 2 orang pegawai (Pak Wawan dan Ali) dari kantor perpustakaan dan arsip daerah kabupaten Buru untuk mendampingi sekaligus petunjuk jalan ke lokasi Desa-desa yang akan di kunjungi. 

Cuaca siang itu cerah sekali dan suhu udara ketika saya lihat di aplikasi AccuWeather.com Android diperkirakan 350 C pokokny panas banget deh. Perjalanan pun dimulai menuju desa di kecamatan Namlea, sepanjang jalan saya disuguhkan oleh pemandangan yang berbeda dengan apa yang terpikirkan mengenai suasana di Pulau Buru. Aktivitas di Kabupaten Buru ini cukup ramai warga masyarakatnya sibuk dengan aktiviasnya masing-masing. Kendaraan cukup padat baik motor maupun mobil sehingga sesekali kemacetan pun terjadi, bahkan yang paling parah terjadi ketika melihat antrian di SPBU untuk mengisi bahan bakar kendaraan. Menurut Pak Wawan, dalam sehari antrian bisa sampai 4 km, sehingga diperlukan kesabaran yang tinggi melibihi warga Kota Jakarta yang sudah terbiasa setiap hari menghadapi kemacetan. Bayangkan saja apabila mengikuti antrian pengisian BBM di SPBU bisa mencapai 10 Jam. Sekilas kota kabupaten ini terlihat seperti di pulau jawa, dimana etnik suku pribumi kurang begitu kental, hal ini dimungkinkan cukup banyaknya etnik suku dari luar diantaranya saja adalah dari suku Jawa. 
Antrian pengisian BBM sumber http://burukab.go.id/web3/image/berita/bbm.jpg

Disela perjalanan Pak Wawan menceritakan kondisi di Pulau Buru saat ini warga masyarakat banyak yang beralih profesi menjadi penambang emas dan pedagang minuman mengingat hasilnya yang menggiurkan. Warga masyarakat sudah meninggalkan profesi sebelumnya yang berprofesi sebagai petani dan penyuling minyak kayu putih di perkebunan. Pulau buru dulunya menjadi daerah peghasil minyak kayu putih terbesar di Inonesia, namun kini sudah tidak lagi bahkan ketika saya akan mencari minyak kayu putih yang asli di daerahnya sendiri kini sulit didapatkan, dan kalau ada kebanyakan sudah di campur dengan cairan lain. 

Setelah kehadiran tambang emas di kawasan Gunung Botak, Desa Wamsait, Kabupaten Buru, telah memengaruhi berbagai aspek di tengah masyarakat. Salah satu yang paling menonjol adalah aspek ekonomi. Sejak ditemukan wilayah tambang emas di kawasan Gunung Botak, dalam setahun perputaran uang diperkirakan telah mencapai angka riliunan rupiah. Tak ayal warga masyarakat di kabupaten buru banyak sekali yang menjadi kaya mendadak, diantaranya banyak warga masyarakat yang sanggup membeli kendaraan  berjenis sport dan ranger dengan harga mendekati milyaran rupiah seperti kendaraan pejabat atau artis-artis di jakarta, tetapi yang uniknya lagi kendaraan di sana walaupun mewah  dipakai untuk mengangkut material tanah hasil tambang sehingga kotor dan berlumpur.

Saya pun akhirnya sampai di desa Namlea dan disambut oleh pegawai kelurahan, setelah menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan ke sana dilanjutkan dengan penyebaran kuesioner yang sudah disiapkan untuk diisi oleh pegawai kelurahan. Sembari menunggu pengisian kuesioner saya sempatkan bertanya mengenai perkembangan bantuan buku yang sudah di serahkan oleh Perpustakaan Propinsi kepada perpustakaan desa Namlea. Ternyata pemanfaatan buku bantuan masudah cukup baik dimana banyak warga masyarakat yang meminjam buku-buku yang ada di perpustakaan desa terbukti dengan data yang ada pada buku pinjaman. Kondisi buku tertata di atas rak buku yang sudah tersedia di salah satu ruangan samping ruangan administrasi.
Admin bersama Pegawai Kelurahan Desa Namlea Kab. Buru

Selesai melaksanakan Monitoring dan Evaluasi di Desa Namlea, kemudian saya berpamitan untuk melanjutkan tugas ke desa lainnya, yaitu desa Lala. Desa Lala ini merupakan penerima buku bantuan perpustakaan tahun 2010 yang memiliki jarak lokasi perpustakaan desa dengan kota kabupaten sekitar 4 Km. Jumlah penduduknya tercatat sebanyak 1.139 jiwa, Koleksi buku di Perpustakaan Desa Lala sudah tertata dengan baik di rak, tetapi penataannya tidak sesuai dengan klasifikasi jenis buku, hal ini dikarenakan petugas pengelola perpustakaan desa belum mengetahui peroses pengelolaann perpustakaan yang baik. Menurut Sekdes Husen Pattinasarani yang kebetulan istrinya berasal dari kota depok jawa barat, beliau mengatakan sulitnya mendapatkan bantuan pelatihan untuk pengelolaan perpustakaan di desanya. Perpustakaan di desa Lala sudah memiliki Struktur Organisasi dan dasar pendiriannya, anggaran pengelolaannya pun sudah ada yang diperoleh dari ADD Pemerintah Daerah setempat tapi sifatnya tidak tetap. Perpustakaannya sendiri berada di dalam gedung desa/kelurahan dengan perabot dan perlengkapan yang kurang memadai dimana hanya terdapat 1 buah meja baca dan 1 buah rak buku.
Sekdes Desa Lala di Perpustakaan Desa Kab. Buru

Dari desa Lala saya lanjutkan ke desa Ubung yang berlokasi di sebelah timur kota kabupaten, jarak lokasi perpustakaan desa dengan kota kabupaten sekitar 10 Km, dengan jumlah penduduk desa/kelurahan sebanyak 2.027 jiwa. Desa Ubung ini merupakan penerima buku bantuan perpustakaan tahun 2010 dengan koleksi buku 1000 eks. Koleksi buku di Perpustakaan desa Ubung sama halnya dengan desa Lala dimana sudah tertata dengan baik di rak, tetapi penataannya tidak sesuai dengan klasifikasi jenis buku, hal ini dikarenakan petugas pengelola perpustakaan desa belum mengetahui peroses pengelolaan perpustakaan yang baik. Layanan perpustakaan desa Ubung kurang dari 4 jam per hari dan dibuka kurang dari 5 hari per minggu, hal ini dikarenakan tidak ada petugas pengelola perpustakaan sehingga perpustakaan hanya dibuka ketika jam kerja kantor desa/kelurahan saja. Perpustakaan di desa Ubung sudah belum memiliki Struktur Organisasi dan dasar pendiriannya, walaupun anggaran pengelolaannya sudah ada yang diperoleh dari ADD Pemerintah Daerah setempat tapi sifatnya tidak tetap. Perpustakaannya sendiri berada di dalam gedung desa/kelurahan dengan perabot dan perlengkapan yang kurang memadai.
Perpustakaan Desa Ubung Kab. Buru

Dalam perjalanan ke arah ke desa lainnya kendaraan yang saya tumpangi kehabisan bahan bakar, dikarenakan ke SPBU cukup jauh dan tidak memungkinkan akhirnya berhenti di sebuah penjualan bensin eceran. Saya tawarkan untuk isi penuh, namun pak wawan terlihat ragu dan beliau memutuskan isi setengah tangki saja. Alangkah kagetnya ketika  saya mau membayar harga bensin yang dibeli karena jumlah uang yang harus dibayarkan sangat mahal sekali dan setelah saya tanyakan ternyata harga 1 liter bensin itu sebesar Rp. 12.500,- daripada malu akhirnya saya mengambil uang beberapa ratus ribu dari dompet dan membayarnya. "Apakah ada kaitannya dengan tambang emas???" Menurut Pak Wawan dan Ali kenaikan BBM terjadi setelah adanya tambang emas dimana BBM banyak di beli oleh para penambang yang tak sedikit jumlahnya untuk mengoperasikan alat penambangannya sehingga kelangkaan pun sering terjadi, disamping itu juga karena banyaknya transportasi yang keluar masuk lokasi tambang sehingga menyebabkan seringnya pengisian bahan bakar.

Ketika dalam perjalanan menuju desa lain jalannya menyisir pantai yang indah dengan hamparan pasir putihnya dan gelombang air yang tenang, saya pun berusaha mengabadikannya dengan kamera. 
Suasana di Pantai Jiku Merasa Kab. Buru

Setelah 3 jam dalam perjalanan sampailah di desa Sanleko Kecamatan Waeapo. Desa ini adalah penerima buku bantuan perpustakaan tahun 2011, jarak lokasi desa dengan kota kabupaten Buru sekitar 20 Km dengan jumlah penduduk sebanyak 1.250 jiwa. Dikarenakan kantor desa/kelurahan sudah tutup, akhirnya saya putuskan menemui lurah/kepala desa nya. Sampai di rumah kepala desa/lurah lagi-lagi pak lurah sedang tidak ada dirumah, menurut istrinya "Bapak sedang di tempat tambang emas". Istri pak lurah menyarankan saya untuk menemui sekretaris desa karena menurutnya pak sekdes sedang berada di rumahnya. Saya pun berlanjut menuju rumah sekretaris desa, dan betul kata istri pak lurah pak sekdes sedang sakit di rumahnya lututnya cedera karena terjatuh dari motor saat pulang dari kota kabupaten buru tadi pagi.
Admin berada di rumah Sekdes Sanleko Kec. Waeapo Kab. Buru

Setelah selesai pengisian data kuesioner oleh pak sekdes saya pun sedikit berbincang dengannya mengenai sejauh mana perkembangan perpustakaan di desa Sanleko. 

Hari sudah menjelang sore jam menujukan pukul 13.30 WIT saya pun bergegas pamitan kepada pak sekdes Sanleko untuk melanjutkan perjalanan menuju desa Gogorea sebagai kunjungan terakhir saya. Kondisi badan sudah terasa lelah dan lusuh namun semangat untuk menuju desa Gogorea masih ada, jarak tempuh ke desa Gogorea dari desa Sanleko itu sekitar 10 Km. dengan waktu tempuh 1 jam perjalanan. Dalam perjalanan menuju desa Gogorea pak Wawan sempat menunjukan kepada saya lokasi tambang emas yang baru dibuka oleh warga masyarakat selain di gunung botak, lokasi tambangnya masuk wilayah desa Gogorea. Desa Gogorea masuk ke wilayah kecamatan Waeapo, desa ini merupakan penerima buku bantuan perpustakaan desa tahun 2011. Lokasi desa Gogorea berjarak sekitar 30 km dari Ibu Kota Kabupaten Buru dengan kondisi jalan berkelok-kelok menyisir pantai di sepanjang teluk pulau buru, jumlah penduduknya sebanyak 385 jiwa. 
Admin berada di rumah Kades Gogorea

Perpustakaan di Desa Gogorea ini berlokasi di rumah kepala desa/lurah, hal ini dikarenakan belum ada bangunan perpustakaannya. Menurut pak lurah warganya kurang begitu antusias dalam memanfaatkan layanan perpustakaan, hal ini dikarenakan warganya termasuk anak-anak lebih memilih ikut menambang emas bersama orang tuanya. Warga masyarakat lebih memilih menambang emas diatas segalanya hal ini dikarenakan tuntutan ekonomi yang sudah merubah pulau buru itu sendiri dengan tingkat inflasi yang sangat tinggi, dimana harga-harga sudah diatas harga normal. Pak lurah banyak bercerita tetang tambang emas daripada pentingnya perpustakaan dan buku-bukunya, menurutnya semenjak ada penambangan emas, warga adatnya kerap sekali berselisih dengan para pengelola tambang.

Tepat jam 14.30 saya berpamitan pulang kepada pak lurah untuk kembali pulang ke kota kabupaten buru. Selama dalam perjalanan hati merasa tenang karena tugas telah selesai sampai di tujuan terakhir kunjungan monitoring dan evaluasi yang ditugaskan dari kantor, dengan kondisi lelah Saya pun buru kembali ke penginapan sebelum hari menjadi gelap. 

Rabu,04-Nop-’12 ( H3 )

Pagi ini Saya berkemas untuk bersiap kembali ke kota Ambon. Setelah mandi pagi dan membereskan barang-barang bawaan Saya, Saya lalu sarapan pagi sebelum akhirnya Saya berpamitan dengan Teman-teman yang ada di Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Setempat di Namlea untuk kembali ke Ambon. Sampai Jumpa Lagi Pulau Buru....

Sudah dulu yaa... nanti di sambung lagi setelah di Kota Abon Manisee :-)

Trip to Pulau Buru (Namlea) 4.5 5 Raspati Selasa, 01 Januari 2013 Ambon - 12 Nopember 2012 lalu, Pak Sahetapy menugaskan Saya melakukan kegiatan Monitoring dan Evaluasi (Monev) Bantuan Buku Perpustakaan k...


4 komentar:

  1. Selamat sore Pak Akang Respati, boleh saya minta no. yang bisa dihubungi? mau nanya" kebetulan saya mau ke Buru Sabtu ini

    BalasHapus
  2. Aku suka ceritanya.. tpi sayang kenapa tidak mmpir ke desa karang jaya... disana psti bnyk mndptkn Ilmu dan crta yg menyenangkn

    BalasHapus
  3. Terima Kasih atas kunjungannya Pa Ramadhani mohon maaf baru update.

    BalasHapus
  4. Adhim Prayoga makasih atas masukannya, mudah-mudahan lain waktu saya bisa berkunjung ke sana.

    BalasHapus