Ambon - 12 Nopember 2012 lalu, Pak Sahetapy menugaskan Saya melakukan kegiatan Monitoring dan Evaluasi (Monev) Bantuan Buku Perpustakaan ke berbagai Desa/Kelurahan di Kabupaten Buru (Namlea). Surat Tugas dan SPPD nya Saya terima langsung dari Ibu Valentine (Sekretaris Kantor) dua hari sebelum keberangkatan. Sebelumnya Ibu Sekretaris berpesan kepada Saya dengan logat ambon nya, "Pak karena belum pernah ke daerah sana, nanti berangkatnya jang sampai terlambat karena jadwal keberangkatan kapal terkadang seng menentu", iya baiklah jawab Saya.
Mendapat tugas ini saya merasa senang sekali apalagi ditugaskan ke daerah-daerah dan tempat yang belum pernah Saya kunjungi. Disamping melaksanakan pekerjaan (tugas) hobi pun dapat terealisasikan. Tugas ini dilaksanakan hanya satu orang per kabupaten dan pada gilirannya saya mendapatkan kesempatan ke Kabupaten Buru (Namlea). Pertanyaan pun muncul di benak saya, "Apakah
perjalanan dinas ini harus dilaksanakan sendirian?" permasalahnnya adalah
saya harus meninggalkan istri sendirian di rumah dinas selama beberapa hari
kedepan. Hmm... rasanya saya tidak tega kalau harus meninggalkannya apalagi
baru beberapa hari saja sampai di Kota Ambon dan juga kurang mengenal
lingkungan kota Ambon, akhirnya saya pun putuskan untuk ikut saja dengan biaya
pribadi.
Pulau
Buru memang baru bagi saya, oleh karenanya sebelum berangkat saya usahakan
mencari tahu mengenai profil dari Kabupaten Buru yang ada di pulau buru itu
sendiri termasuk lokasi beberapa Desa yang harus didatangi nanti untuk
dijadikan sampel dari sekitar 10 Kecamatan yang ada disana. Konon ceritanya
menurut salah seorang pegawai di tempat saya bekerja bahwa Pulau Buru merupakan
pulau sejarah dimana dahulu di sana, ribuan orang dibuang dan disiksa, karena
dituduh sebagai antek partai komunis yang paling dimusuhi oleh rezim pemerintah
saat itu (Orde Baru). Pulau Buru juga terkenal dengan keindahan pantainya dan
Minyak Kayu Putih dimana Pulau Buru merupakan daerah Penghasil Minyak Kayu
Putih terbesar di Indonesia, dan selain itu di Pulau Buru saat ini terkenal
dengan tempat tambang emas, Kabupaten Buru (Namlea) itu kini telah menjadi salah satu kabupaten di Pulau Buru Propinsi Maluku.
Siang
hari itu tanggal 12 Nopember 2012, saya pergi menuju pelabuhan Galala Kota
Ambon untuk memesan tiket Kapal Fery tujuan Ambon - Namlea. Sesampainya di
pelabuhan, saya mendapatkan keterangan dari salah seorang petugas penjualan
tiket bahwa tiket dapat dipesan langsung nanti malam ketika Kapal terjadwalkan
untuk berangkat. Waduh!! "Bisa Repot nih" gumam Saya sembari berbalik
untuk kembali pulang.
Menjelang
malam hari, telepon bergetar rupanya panggilan masuk dari nama salah seorang
pegawai di kantor yaitu Pak Guntur. Suara terdengar dari telepon "Pak
kita baku dapa di Pelabuhan e... jam 20.00 WIT, barang beta jua dapa tugas ke
Namlea untuk Bimbingan Teknis!!" rupanya ada teman juga yang
ditugaskan ke Pulau Buru untuk kegiatan lain di sana.
Kemudian malam harinya selesai
sembahyang saya pun bergegas berangkat menuju pelabuhan, waktu itu menunjukan
pukul 20.15 WIT. Transportasi yang digunakan dari rumah dinas ke pelabuhan
sengaja menggunakan transportasi ojek karena dinilai lebih cepat sehingga dapat
lebih efisien. Ketika baru tiba di Pelabuhan saya pun melihat pemandangan yang
cukup mencengangkan dimana Antrian penumpang yang sangat panjang dan padat
sekali seperti mau masuk ke tempat wisata. Setelah membayar ongkos ojek saya
pun bergegas langsung ikut antrian dan berdesak-desakan bersama teman-teman
yang sudah lebih dahulu tiba di pelabuhan bersama penumpang lainnya. Dari
antrian tersebut saya melihat banyak rombongan turis lokal yang antusias dan
bersemangat menuju ke Pulau Buru, kebanyakan dari pulau Jawa bahkan dari Jawa
Barat pun ada dengan bahasanya yang merasa saya tidak asing lagi diantaranya
saja dari dari Tasikmalaya. Turis-turis ini datang dengan peralatan lengkap
sepertinya mereka adalah para penambang emas yang akan menuju tempat
penambangan emas di Pulau Buru. Kendatipun antrian di jaga oleh aparat keamanan
tetap saja ada beberapa orang yang berusaha menerobos untuk mendahului antrian
dan pada akhirnya teriakan dan pukulan pun melayang dari aparat itu. Hmm...
pemandangan yang lumrah di Indonesia.
Setelah
3 jam mengantri dengan bermandikan keringat akhirnya saya pun mendapatkan tiket
kapal kelas ekonomi dengan tarif Rp. 62.500,- per orang. Saya kurang beruntung
deh tidak mendapatkan tiket kelas bisnis karena sudah habis :-) Tepat pulul
00.20 WIT alarm kapal berbunyi 3 kali sebagai tanda kapal akan mulai berlayar.
Di dalam kapal itu saya bersama istri dan juga teman-teman berusaha untuk
mencari tempat duduk untuk beberapa saat istirahat dan merebahkan badan, namun
yang mengherankannya lagi ketika saya mencari tempat duduk itu sudah penuh baik
di dek 1 dan 2, semuanya sudah ditempati para penumpang dan bahkan sebagian
penumpang lainnya duduk dan tidur di lantai dek kapal dengan menyewa tikar dari
para penjaja tikar.
Tampak
sekali berantakan manusia bergelimpangan dan kondisinya tidak teratur. Sungguh
kontras sekali apabila dibandingkan dengan sarana transportasi yang ada di
pulau jawa misalnya saja transportasi laut rute Merak - Bakauheuni, kapal fery
disana jumlahnya banyak disamping itu juga kondisinya layak untuk digunakan
lengkap dengan perlengkapan keselamatannya. Saya pun akhirnya berusaha untuk
menempati lantai di pojok dekat tangga turun ke dek 1. Sembari berusaha
menyesuaikan dengan keadaan, saya dan teman-teman sedikit berbincang mengenai
rencana kegiatan esok hari. Tidak lama kemudian pemeriksaan tiket pun
menghampiri dan memeriksa tiket masing-masing penumpang.
Perjalanan
menggunakan kapal laut buat saya sangat membosankan dan memabukan apalagi jarak
tempuh perjalanan sekarang ini kurang lebih 8 jam dari Ambon - Pulau Buru
(Namlea), namun tidak ada pilihan lain selain transportasi laut. Sebenarnya,
saya berencana naik kapal cepat, bukan kapal Fery. Tapi sayang, kapal ekspres
yang berdaya tempuh empat jam Ambon-Buru dan hanya beroperasi sekali sehari tersebut,
tidak dapat kami kejar. Lama kelamaan kelip-kelip lampu dari daratan sudah
tidak terlihat lagi hanya gulita disekeliling kapal, suasana dikapal pun cukup
sepi hanya sesekali suara para penjual minuman dan makanan yang menawarkan
dagangannya kepada para penumpang. Getaran mesin kapal cukup keras seakan
dipacu cepat oleh nakhodanya, tiba-tiba saya dikagetkan oleh suara panggilan
dari seorang Oma (panggilan kepada ibu yang sudah lanujut usia) "Mas
kegiatan apa di Buru??" akhirnya obrolan pun terjadi. Dari obrolan
ini, akhirnya saya menjadi tahu bahwa oma itu adalah seorang bidan senior
dipelosok daerah pulau buru. Pada awalnya, Oma sekedar basa-basi
menanyakan tujuan perjalanan saya dan teman-teman yang sampai akhirnya obrolan
menjadi menarik ketika Oma menceritakan perjalannan hidupnya serta pekerjaannya
yang melelahkan, dimana dia seorang diri harus menangani pasien-pasien Partus
yang lokasinya cukup jauh. Disamping itu Oma juga harus bolak balik dari
Namlea ke Ambon hampir tiap tiga minggu sekali untuk mendapatkan obat-obatan
yang dibutuhkan. Obrolan pun berakhiri ketika mata mulai mengantuk dan udara di
dalam kapal sudah mulai mendinginkan kulit, maklumlah jendela-jendela kapal
yang terbuka langsung menghadap lautan lepas tanpa penutup.
Di
pagi hari sekali ketika sang surya mau terbit, saya bersama istri naik ke
anjungan kapal untuk mendokumentasikan peristiwa pergantian malam menjadi siang
(Sunrise). Suasana di anjungan kapal cukup ramai dan banyak sekali orang yang
beristirahat di anjungan kapal sembari menikmati bertaburnya bintang-bintang
dilangit. Cuaca di pagi itu cukup baik dimana langit cerah dengan ombak yang
tenang, namun udara dingin di anjungan masih cukup kencang dan membuat rasa
tidak sabar untuk menanti munculnya sang penghangat dari sarangnya. Beberapa
saat kemudian langit dari ujung laut sebelah timur mulai memerah dan saya pun
berusaha mengabadikannya dengan memotret moment itu. Sungguh luar biasa
pendangaan saat itu ketika berada ditengah lautan lepas sambil menyaksikan
pergantian malam.
Tepat
pukul 08.00 WIT sayup-sayup terlihat daratan, rupanya posisi kapal sudah
mendekati teluk pulau buru dan 15 menit kemudiaan akhirnya kapal pun bersandar
di Pelabuhan. Para buruh angkut sibuk menawarkan jasanya, dan saya pun bersama teman
bergegas turun dengan barang-barang perlengkapan yang lumayan banyak. Deburan
ombak pantai yang meriak seperti air tawar yang ada di kolam mulai terasa saat
turun dari kapal berjalan menuju dermaga.
Sampai
di parkiran pelabuhan, saya dan teman-teman dikerubuti sopir taksi yang
menawarkan jasanya untuk mengantar ke tempat tujuan. Uniknya taksi-taksi di
sana bukan taksi seperti halnya di bandara, taksi ini berplat nomor hitam alias
bukan angkutan umum dan tipe kendaraannya pun bermacam-macam ada tipe mini bus,
sedan, dll. Taksi di pelabuhan terkenal tarifnya lebih mahal dari harga normal
taksi. Berhubung teman saya sudah melakukan percakapan melalui telepon dengan
seseorang yang berada di Namlea untuk menjemput ke pelabuhan, maka saya dan
teman-teman pun menolak tawaran para sopir taksi. Setelah teman saya menelpon
Pak Anes (nama panggilan) orang yang akan menjemput ke pelabuhan, beberapa saat
kemudian akhirnya Pak Anes tiba dengan mobil mini bus nya yang berwarna
biru.
Dalam
perjalanan menuju kecamatan Namlea pusat kota di Kabupaten Buru saya sempatkan
berkenalan dengan Pak Anes, rupa-rupanya Pak Anes ini adalah seorang Kepala
Kantor BPS Statistik di Kabupaten Buru - Namlea. Dalam hati saya merasa malu
ketika tahu ternyata yang menjemput ini seorang pejabat, tetapi Alhamdulillah
beliau ini orangnya baik sekali dan menyenangkan bahkan sesekali Pak Anes
bercanda memancing tawa saya dan teman-teman. 15 menit kemudian akhirnya
sampailah di depan kantornya Pak Anes tetapi perjalanan pun masih berlanjut
menuju Rumah yang bersebelahan dengan kantor itu. Tepat di rumah dinasnya pak
Anes ini, Saya bersama istri dan teman-teman beristirahat sejenak dan mempersiapkan
diri untuk menuju lokasi kegiatan masing-masing.
Sementara sedang bersiap-siap
datanglah 2 orang berseragam dinas dengan sebuah mobil mini bus berwarna hitam,
rupanya mereka pegawai dari Kantor Perpustakaan dan Arsip kabupaten Buru yang
di utus pimpinannya untuk mengantar ke kantor perpustakaan dan arsip setempat.
Tepat jam 09.00 WIT saya sampai di Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah
Kabupaten Buru dan langsung menemui Drs. Mansur Mamulaty (kepala kantor) untuk
menjelaskan maksud dan tujuan kedatangan ke sana. Setelah mendapatkan arahan
dari kepala kantor akhirnya Saya pun berpisah dengan teman-teman, karena
kegiatannya berbeda. Sebelum pergi ke lokasi kegiatan, saya pun sempatkan
membantu teman-teman untuk mempersiapkan kegiatan Bimtek. Saya dan Istri
ditemani 2 orang pegawai (Pak Wawan dan Ali) dari kantor perpustakaan dan arsip
daerah kabupaten Buru untuk mendampingi sekaligus petunjuk jalan ke lokasi
Desa-desa yang akan di kunjungi.
Cuaca
siang itu cerah sekali dan suhu udara ketika saya lihat di aplikasi AccuWeather.com
Android diperkirakan 350 C pokokny panas banget deh. Perjalanan
pun dimulai menuju desa di kecamatan Namlea, sepanjang jalan saya disuguhkan
oleh pemandangan yang berbeda dengan apa yang terpikirkan mengenai suasana di
Pulau Buru. Aktivitas di Kabupaten Buru ini cukup ramai warga masyarakatnya
sibuk dengan aktiviasnya masing-masing. Kendaraan cukup padat baik motor maupun
mobil sehingga sesekali kemacetan pun terjadi, bahkan yang paling parah terjadi
ketika melihat antrian di SPBU untuk mengisi bahan bakar kendaraan. Menurut Pak
Wawan, dalam sehari antrian bisa sampai 4 km, sehingga diperlukan kesabaran
yang tinggi melibihi warga Kota Jakarta yang sudah terbiasa setiap hari
menghadapi kemacetan. Bayangkan saja apabila mengikuti antrian pengisian BBM di
SPBU bisa mencapai 10 Jam. Sekilas kota kabupaten ini terlihat seperti di pulau
jawa, dimana etnik suku pribumi kurang begitu kental, hal ini dimungkinkan
cukup banyaknya etnik suku dari luar diantaranya saja adalah dari suku Jawa.
Disela
perjalanan Pak Wawan menceritakan kondisi di Pulau Buru saat ini warga masyarakat
banyak yang beralih profesi menjadi penambang emas dan pedagang minuman
mengingat hasilnya yang menggiurkan. Warga masyarakat sudah meninggalkan
profesi sebelumnya yang berprofesi sebagai petani dan penyuling minyak kayu
putih di perkebunan. Pulau buru dulunya menjadi daerah peghasil minyak kayu
putih terbesar di Inonesia, namun kini sudah tidak lagi bahkan ketika saya akan
mencari minyak kayu putih yang asli di daerahnya sendiri kini sulit didapatkan,
dan kalau ada kebanyakan sudah di campur dengan cairan lain.
Setelah
kehadiran tambang emas di kawasan Gunung Botak, Desa Wamsait, Kabupaten Buru,
telah memengaruhi berbagai aspek di tengah masyarakat. Salah satu yang paling
menonjol adalah aspek ekonomi. Sejak ditemukan wilayah tambang emas di kawasan
Gunung Botak, dalam setahun perputaran uang diperkirakan telah mencapai angka
riliunan rupiah. Tak ayal warga masyarakat di kabupaten buru banyak sekali yang
menjadi kaya mendadak, diantaranya banyak warga masyarakat yang sanggup membeli
kendaraan berjenis sport dan ranger dengan harga mendekati milyaran
rupiah seperti kendaraan pejabat atau artis-artis di jakarta, tetapi yang
uniknya lagi kendaraan di sana walaupun mewah dipakai untuk mengangkut
material tanah hasil tambang sehingga kotor dan berlumpur.
Saya
pun akhirnya sampai di desa Namlea dan disambut oleh pegawai kelurahan, setelah
menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan ke sana dilanjutkan dengan penyebaran
kuesioner yang sudah disiapkan untuk diisi oleh pegawai kelurahan. Sembari
menunggu pengisian kuesioner saya sempatkan bertanya mengenai perkembangan
bantuan buku yang sudah di serahkan oleh Perpustakaan Propinsi kepada
perpustakaan desa Namlea. Ternyata pemanfaatan buku bantuan masudah cukup baik
dimana banyak warga masyarakat yang meminjam buku-buku yang ada di perpustakaan
desa terbukti dengan data yang ada pada buku pinjaman. Kondisi buku tertata di
atas rak buku yang sudah tersedia di salah satu ruangan samping ruangan
administrasi.
Selesai
melaksanakan Monitoring dan Evaluasi di Desa Namlea, kemudian saya berpamitan
untuk melanjutkan tugas ke desa lainnya, yaitu desa Lala. Desa Lala ini
merupakan penerima buku bantuan perpustakaan tahun 2010 yang memiliki jarak
lokasi perpustakaan desa dengan kota kabupaten sekitar 4 Km. Jumlah penduduknya
tercatat sebanyak 1.139 jiwa, Koleksi buku di Perpustakaan Desa Lala sudah
tertata dengan baik di rak, tetapi penataannya tidak sesuai dengan klasifikasi jenis
buku, hal ini dikarenakan petugas pengelola perpustakaan desa belum mengetahui
peroses pengelolaann perpustakaan yang baik. Menurut Sekdes Husen Pattinasarani
yang kebetulan istrinya berasal dari kota depok jawa barat, beliau mengatakan
sulitnya mendapatkan bantuan pelatihan untuk pengelolaan perpustakaan di
desanya. Perpustakaan di desa Lala sudah memiliki Struktur Organisasi dan dasar
pendiriannya, anggaran pengelolaannya pun sudah ada yang diperoleh dari ADD
Pemerintah Daerah setempat tapi sifatnya tidak tetap. Perpustakaannya sendiri
berada di dalam gedung desa/kelurahan dengan perabot dan perlengkapan yang
kurang memadai dimana hanya terdapat 1 buah meja baca dan 1 buah rak buku.
Dari
desa Lala saya lanjutkan ke desa Ubung yang berlokasi di sebelah timur kota
kabupaten, jarak lokasi perpustakaan desa dengan kota kabupaten sekitar 10 Km,
dengan jumlah penduduk desa/kelurahan sebanyak 2.027 jiwa. Desa Ubung ini
merupakan penerima buku bantuan perpustakaan tahun 2010 dengan koleksi buku
1000 eks. Koleksi buku di Perpustakaan desa Ubung sama halnya dengan desa Lala
dimana sudah tertata dengan baik di rak, tetapi penataannya tidak sesuai dengan
klasifikasi jenis buku, hal ini dikarenakan petugas pengelola perpustakaan desa
belum mengetahui peroses pengelolaan perpustakaan yang baik. Layanan
perpustakaan desa Ubung kurang dari 4 jam per hari dan dibuka kurang dari 5
hari per minggu, hal ini dikarenakan tidak ada petugas pengelola perpustakaan
sehingga perpustakaan hanya dibuka ketika jam kerja kantor desa/kelurahan saja.
Perpustakaan di desa Ubung sudah belum memiliki Struktur Organisasi dan dasar
pendiriannya, walaupun anggaran pengelolaannya sudah ada yang diperoleh dari
ADD Pemerintah Daerah setempat tapi sifatnya tidak tetap. Perpustakaannya
sendiri berada di dalam gedung desa/kelurahan dengan perabot dan perlengkapan
yang kurang memadai.
Dalam
perjalanan ke arah ke desa lainnya kendaraan yang saya tumpangi kehabisan bahan
bakar, dikarenakan ke SPBU cukup jauh dan tidak memungkinkan akhirnya berhenti
di sebuah penjualan bensin eceran. Saya tawarkan untuk isi penuh, namun pak
wawan terlihat ragu dan beliau memutuskan isi setengah tangki saja. Alangkah
kagetnya ketika saya mau membayar harga bensin yang dibeli karena jumlah
uang yang harus dibayarkan sangat mahal sekali dan setelah saya tanyakan
ternyata harga 1 liter bensin itu sebesar Rp. 12.500,- daripada
malu akhirnya saya mengambil uang beberapa ratus ribu dari dompet dan
membayarnya. "Apakah ada kaitannya dengan tambang emas???" Menurut
Pak Wawan dan Ali kenaikan BBM terjadi setelah adanya tambang emas dimana BBM
banyak di beli oleh para penambang yang tak sedikit jumlahnya untuk
mengoperasikan alat penambangannya sehingga kelangkaan pun sering terjadi,
disamping itu juga karena banyaknya transportasi yang keluar masuk lokasi
tambang sehingga menyebabkan seringnya pengisian bahan bakar.
Ketika
dalam perjalanan menuju desa lain jalannya menyisir pantai yang indah dengan
hamparan pasir putihnya dan gelombang air yang tenang, saya pun berusaha
mengabadikannya dengan kamera.
Setelah
3 jam dalam perjalanan sampailah di desa Sanleko Kecamatan Waeapo. Desa ini
adalah penerima buku bantuan perpustakaan tahun 2011, jarak lokasi desa dengan
kota kabupaten Buru sekitar 20 Km dengan jumlah penduduk sebanyak 1.250 jiwa.
Dikarenakan kantor desa/kelurahan sudah tutup, akhirnya saya putuskan menemui
lurah/kepala desa nya. Sampai di rumah kepala desa/lurah lagi-lagi pak lurah
sedang tidak ada dirumah, menurut istrinya "Bapak sedang di tempat
tambang emas". Istri pak lurah menyarankan saya untuk menemui
sekretaris desa karena menurutnya pak sekdes sedang berada di rumahnya. Saya
pun berlanjut menuju rumah sekretaris desa, dan betul kata istri pak lurah pak
sekdes sedang sakit di rumahnya lututnya cedera karena terjatuh dari motor saat
pulang dari kota kabupaten buru tadi pagi.
Setelah
selesai pengisian data kuesioner oleh pak sekdes saya pun sedikit berbincang
dengannya mengenai sejauh mana perkembangan perpustakaan di desa Sanleko.
Hari
sudah menjelang sore jam menujukan pukul 13.30 WIT saya pun bergegas pamitan
kepada pak sekdes Sanleko untuk melanjutkan perjalanan menuju desa Gogorea
sebagai kunjungan terakhir saya. Kondisi badan sudah terasa lelah dan lusuh
namun semangat untuk menuju desa Gogorea masih ada, jarak tempuh ke desa
Gogorea dari desa Sanleko itu sekitar 10 Km. dengan waktu tempuh 1 jam
perjalanan. Dalam perjalanan menuju desa Gogorea pak Wawan sempat menunjukan
kepada saya lokasi tambang emas yang baru dibuka oleh warga masyarakat selain
di gunung botak, lokasi tambangnya masuk wilayah desa Gogorea. Desa Gogorea
masuk ke wilayah kecamatan Waeapo, desa ini merupakan penerima buku bantuan
perpustakaan desa tahun 2011. Lokasi desa Gogorea berjarak sekitar 30 km dari
Ibu Kota Kabupaten Buru dengan kondisi jalan berkelok-kelok menyisir pantai di
sepanjang teluk pulau buru, jumlah penduduknya sebanyak 385 jiwa.
Perpustakaan di Desa Gogorea ini
berlokasi di rumah kepala desa/lurah, hal ini dikarenakan belum ada bangunan
perpustakaannya. Menurut pak lurah warganya kurang begitu antusias dalam
memanfaatkan layanan perpustakaan, hal ini dikarenakan warganya termasuk
anak-anak lebih memilih ikut menambang emas bersama orang tuanya. Warga masyarakat
lebih memilih menambang emas diatas segalanya hal ini dikarenakan tuntutan
ekonomi yang sudah merubah pulau buru itu sendiri dengan tingkat inflasi yang
sangat tinggi, dimana harga-harga sudah diatas harga normal. Pak lurah banyak
bercerita tetang tambang emas daripada pentingnya perpustakaan dan
buku-bukunya, menurutnya semenjak ada penambangan emas, warga adatnya kerap
sekali berselisih dengan para pengelola tambang.
Tepat
jam 14.30 saya berpamitan pulang kepada pak lurah untuk kembali pulang ke kota
kabupaten buru. Selama dalam perjalanan hati merasa tenang karena tugas telah
selesai sampai di tujuan terakhir kunjungan monitoring dan evaluasi yang
ditugaskan dari kantor, dengan kondisi lelah Saya pun buru kembali ke
penginapan sebelum hari menjadi gelap.
Rabu,04-Nop-’12
( H3 )
Pagi
ini Saya berkemas untuk bersiap kembali ke kota Ambon. Setelah mandi pagi dan
membereskan barang-barang bawaan Saya, Saya lalu sarapan pagi sebelum akhirnya
Saya berpamitan dengan Teman-teman yang ada di Kantor Perpustakaan dan Arsip
Daerah Setempat di Namlea untuk kembali ke Ambon. Sampai Jumpa Lagi Pulau
Buru....
Sudah
dulu yaa... nanti di sambung lagi setelah di Kota Abon Manisee :-)
Selamat sore Pak Akang Respati, boleh saya minta no. yang bisa dihubungi? mau nanya" kebetulan saya mau ke Buru Sabtu ini
BalasHapusAku suka ceritanya.. tpi sayang kenapa tidak mmpir ke desa karang jaya... disana psti bnyk mndptkn Ilmu dan crta yg menyenangkn
BalasHapusTerima Kasih atas kunjungannya Pa Ramadhani mohon maaf baru update.
BalasHapusAdhim Prayoga makasih atas masukannya, mudah-mudahan lain waktu saya bisa berkunjung ke sana.
BalasHapus